Industri PVC resin di
Indonesia tidak mengalami perkembangan berarti sejak tahun 2004. Kapasitas
produksi PVC resin belum beranjak dari tingkat 602.000 ton per tahun. Kapasitas
ini diperkirakan belum akan bertambah dalam beberapa tahun ke depan karena
tingkat produksi saat ini masih di bawah kapasitas terpasang tersebut.
Industri ini masih
berkutat dengan dan mahalnya ethylene yang merupakan bahan baku Polyvinyl
Chloride (PVC). Mahalnya ethylene ini terkait dengan harga minyak bumi yang
meningkat mencapai lebih dari US $ 70 per barrel sejak tahun 2005 dan tetap
bertahan di posisi tinggi hingga saat ini.
Industri ini juga
memiliki ketergantungan pasokan ethylene pada pasar internasional karena
sebagian besar kebutuhannya saat ini masih diimpor. Satu-satunya produsen
ehtylene di Indonesia adalah Candra Asri yang dalam setahun hanya mampu
memproduksi 525 ribu ton, di bawah kebutuhan nasional yang mencapai 1,4
juta ton.
Sementara itu, produksi
PVC resin terus meningkat sejak tahun 2003. Pada tahun 2003 produksi adalah
350.000 ton per tahun naik menjadi 400.000 ton per tahun pada tahun 2006.
Hingga tahun 2005,
sebagian besar produksi diserap oleh permintaan domestik. Namun, pada tahun
2006 terjadi perubahan dimana pasar ekspor menyerap lebih banyak dari pasar
domestik.
Berbeda dengan produk
plastic resin lainnya, dalam pembuatannya PVC resin mengkonsumsi energi
yang sangat besar yang didapatkan dari listrik sehingga kenaikan harga bahan
bakar untuk pembangkit listrik sangat mempengaruhi kinerja industri ini.
Kapasitas produksi dan
produsen
Selama lebih dari 10
tahun terakhir Industri PVC resin di Indonesia praktis tidak banyak berkembang
yakni masih tetap 5 produsen.. Hal ini tercermin dari jumlah perusahaan
penghasil PVC resin belum berubah sejak pendirian Satomo Indovyl Polimers
(SIP) dan Siam Maspion Polymer (SMP) pada tahun 1995.
Kelima produsen PVC
resin di Indonesia tersebut memiliki total kapasitas produksi pada tahun 2006
sebesar 588.000 ton per tahun. Kapasitas ini lebih rendah dari tahun 2004 yang
mencapai 592.000 ton per tahun. Penurunan kapasitas terjadi pada Eastern
Polymer dari 50.000 ton per tahun menjadi 36.000 ton per tahun. Sementara
peningkatan terjadi pada Sulfindo Adi Usaha dari 70.000 menjadi 80.000 ton per
tahun.
Upaya peningkatan
kapasitas terbentur oleh masalah tidak terjaminnya pasokan bahan baku yang
terjadi karena tingkat integrasi industri ini yang rendah. Seperti diketahui di
Indonesia hanya ada satu produsen ehtylena yakni Chandra Asri yang kapasitasnya
sudah penuh.
Padahal, ethylena adalah
salah satu bahan baku pembuatan PVC resin. Selain itu investasi di industri ini
juga sangat tinggi karena industri ini padat teknologi. Dengan kondisi ini maka
peningkatan kapasitas terkendala.
Eastern Polymer
Perkembangan industri
PVC resin di Indonesia dimulai pada tahun 1976 ketika produsen pertama yakni
Eastern Polymer (EP) yang didirikan di Cilincing Jakarta.
EP merupakan perusahaan
patungan PT Anugrah Daya Laksana Indonesia (50%) and Mitsubishi
Corpo¬ration and Tokuyama Co. Ltd. of Japan (50%). Pada tahun 1995 seluruh
saham Tokuyama diambil alih oleh Mitsubishi. Pada bulan Februari 1998, proses
produksi sempat terhenti karena permintaan PVC merosot akibat krisis ekonomi.
Kapasitas produksi EP
sesuai izin dari Departemen Perindustrian adalah 50.000 ton per tahun, akan
tetapi kapasitas produksi aktual EP saat ini adalah 36.000 ton per tahun yang
dengan efisiensi mampu memproduksi hingga 42.000 ton per tahun. Efisiensi ini
dicapai dengan pembersihan reaktor dengan bantuan bahan kimia sehingga lebih
cepat.
Standard Toyo Polymer
Kapasitas produksi PVC
bertambah setahun kemudian ketika Standard Toyo Polymer (Statomer) didirikan
pada tahun 1977. Saham Statomer dimiliki oleh Toyo Soda Manufacturing Co. Ltd.
(30%) and Mitsui & Co. of Japan (20%), PT Sempurna Catur Guna (40%) dan PT
Blue Standard Polymer (10%). Kapasitas produksi Statomer adalah 87.000 ton per
tahun. Plant milik Statomer berlokasi di Cilegon, Banten.
Salah satu pemegang
sahamnya yakni Toyo Soda Manufacturing (Tosoh) dikenal sebagai perusahaan kimia
terintegrasi. Tosoh memiliki beberapa grup usaha yakni petrochemical group yang
dengan pabrik-pabriknya yang menghasilkan olefin dan polimer, basic group
dengan pabrik-pabrik penghasil chlor alkali dan semen, specialty group yang
memproduksi bahan kimia organik, special material, electronic material, dan
scientific instrument. Selain itu Tosoh juga memiliki service group yang
melayani logistik, warehousing, R&D, dan maintenance services.
Produk yang dihasilkan
oleh Statomer semuanya dalam bentuk powder. Produk ini langsung dipasarkan ke
pabrik-pabrik pengolahan PVC di Indonesia. Di antara konsumen Statomer Maspion
lah yang terbesar. Maspion yang pabriknya berlokasi di Sidoarjo, Jawa Timur
selama ini dikenal sebagai produsen alat-alat rumah tangga dari bahan plastik.
Asahimas Chemical
Setelah lebih dari 10
tahun kapasitas produksi PVC resin di Indonesia kembali meningkat dengan
kehadiran Asahimas Chemical (ASC) pada tahun 1989 yang merupakan produsen
terbesar PVC resin di Indonesia hingga saat ini. Kapasitas produksi ASC sebesar
285.000 ton per tahun.
Di atas lahan seluas 90
hektar di Cilegon, Banten ASC memiliki fasilitas terintegrasi yang juga
memproduksi Caustic Soda (NaOH), Ethylene Dichloride (EDC), Vinyl Chloride
Monomer (VCM), Hydrochloric Acid (HCl), Liquid Chlorine (Cl2) and Sodium
Hypochlorite (NaClO). Kapasitas produksi VCM yang dimiliki ASC adalah 400.000
ton per tahun sedangkan EDC adalah 29.900 ton per tahun.
Pemegang saham ASC
adalah Asahi Glass Company dan Mitsubishi Corp, Jepang. Awalnya Asahi Glass
Company adalah produsen produk kaca seperti flat glass dan automotive glass dan
display (Cathode ray tubes/ CRTs, Flat panel displays/ FPDs, dll).
Dalam perkembangannya
perusahaan ini meluaskan usahanya dalam bidang kimia
(Fluorochemicals,Chlor-Alkalis Urethane etc), serta elektronika dan energi
(Semiconductor-related products,Optoelectoronics products,Frit and paste glass)
pada tahun 2005.
Sulvindo Adi Usaha
Pada tahun 1995 terdapat
dua pemain baru yakni Satomo Indovyl Polimers (SIP) dan Siam Maspion Polymer
(SMP) masing-masing dengan kapasitas 70.000 ton dan 100.000 ton.
SIP mendapatkan izin
dari BKPM pada tahun 1995 sebagai perusahaan patungan antara konglomerat Salim
(50%), Tosoh Corp. (25%), dan Sumitomo Corp (25%).
SIP ini merupakan
perluasan usaha Kelompok Salim pada bisnis petrokimia. Bisnis pertama Salim
pada petrokimia adalah PT. Indochlor (1977) yang pada tahun 1995 diganti
namanya menjadi PT. Sulfindo Adi Usaha (SAU). Perusahaan ini memproduksi
chlorine dan caustic soda. Salim memiliki saham sebesar 95 persen pada
perusahaan ini.
Perluasan usaha Salim
yang lainnya adalah PT. Satomo Indovyl Monomer (SIM) yang didirikan pada tahun
1995 memproduksi Ethylene Dichloride (EDC) dan Vinyl Chloride Monomer (VCM).
Salim mengontrol 51 persen saham pada perusahaan ini.
Setelah krisis ekonomi
tahun 1997, Salim menjaminkan seluruh kepemilikannya atas tiga perusahaan ini
kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional guna menyelesaikan hutang-hutangnya.
Selanjutnya, dalam skema restrukturisasi hutang, pada tahun 2001 aset ini
kemudian dijual dengan nilai kepada US $ 41,2 juta Durability yang dimiliki
Grup Emperor (Hongkong).
Durability kembali
memperbesar kepemilikan sehingga komposisi menjadi Durability 74,29 persen,
Sumitomo 25 persen, dan sisanya 0,71 persen oleh Timsco. Durability kemudian
menggabungkan ketiga perusahaan ini yakni SIP, SIM, dan SAU. Nama SIP kemudian
dihapuskan dan diganti dengan SAU. Kapasitas yang semula 70.000 ton per tahun
ditingkatkan menjadi 80.000 ton per tahun. Dalam produksinya SAU mengunakan
teknologi suspension polymerization yang dilisensi oleh Tosoh Corp.
0 komentar:
Post a Comment
thanks for your coment ^^